Selasa, 18 Desember 2012



KEBIJAKAN PEMERINTAH



 UNIVERSITAS GUNADARMA
 KELAS 1EB24
 Nama ANGGOTA:
 Riana Dwi Astuti ( 26211101 )
 Ratri Puspaningrum ( 25211905 )
 Sergiyo Richardo ( 26211700 )
 Gabriel F. Sihombing ( 22211982 )
 Achmad Chaq Hidayatullah Zain ( 28211969 )
 Islami Arastantia ( 23211728 )
 Pujiyanto ( 25211602 )
1. Kebijakan Pemerintah
a.  Periode 1966-1969
Saya akan membahas mengenai kebijakan pemerintah mulai Periode 1966-1969 sampai periode pelita V. Pada periode 1966-1969 Pemerintah lebih memusatkan perhatian pada kebijakan mengenai proses perbaikan dan penghapusan semua unsur dari peniggalan pemerintahan orde lama yang mengandung unsur komunisme. Pada masa ini pemerintah berjuang untuk menekan tingkat inflasi yang tinggi karena pemerintahan orde lama. Pada periode pelita I perekonomiaan Indonesia sedang kurang baik, dimana Indonesia sedang mengalami tinggkat pengangguran yang tinggi. Sementara itu pemerintah menyempurnakan peraturan mengenai Tata Niaga bidang Eksport dan Import yang mendevaluasi mata uang rupiah terhadap dollar. Keadaan ini megakibatkan perekomonian kekurangan dana semetara itu perekonomian didesak untuk mendapatkan dana yang besar untuk investasi agar menambah lapangan pekerjaan. Periode Pelita III Pemerintah membuat kkebijakan mengenai tata cara pelaksanaan eksport import dan lalu lintas devisa. Peraturan ini membuat kemudahan dalam pajak terhadap komodoti eksport dan menerapkan sistem devaluasi yaitu menurunkan nilai rupih terhadap dollar misalnya satu dollar seharusnya 7500 menjadi 9500, pemerintah melakukkan itu semua dengan harapan permintaan negara menjadi lebih banyak karena eksport meningkat dan nilai imortmenjadi lebih mahal karena nilai rupiah terhadap dollar melemah.
Pada Periode Pelita IV pemerintah menerapkan beberapa kebijakan diantarnya
kebijakan dalam meningkatkan eksport import non migas hal tersebut diatur dalam kebijakan INPRES No. 4 Tahun 1985. Kebijakan dalam meningkatkan sektor swasta bidang eksport dan bidang penanaman modal yang diatur dalam PAKEM 6 mei 1986.
Kebijakan Devaluasi 1986 karena harga minyak dunia jatuh sehingga penerimaan pemerintah menurun, untuk meningkatkan penerimaan kembali pemerintah menerapkan sistem devaluasi mata uang rupiah terhadap dollar asing. Kebijakan 25 oktober 1986 pemerintah membuat Kebijakan mengenai Deregulasi perdagangan, moneter, dan penanaman modal dimana bea masuk untuk komoditi bahan baku dan penolong diturunkan dari tarif normal, serta penerapan kebijaksanaan penanaman modal. Kebijakan 15 Januari 1987 pemerintah membuat Kebijakan mengenai peningkatan efisiensi, inovasi dan produktivitas eksport pada sektor industri non migas. Kebijakan 24 Desember 1987 (PAKDES) dimana pemerintah melakukan penataan ulang struktur bidang perekonomian. Kebijakan 27 Oktober 1988 pemerintah membuat kebijakan deregulasi untuk meningkat dana yang dikumpulkan pasar modal untuk pembangunan. Kebijakan 21 November 1988 (PAKNOV), Pemerintah melakukan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan Laut. Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES), memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif. Pada Periode Pelita V Pemerintah lebih memfokuskan kepada pengawasan, pengendalian, dalam rangka menuju rencana pembangunan jangka panjang tahap kedua. Kebijakan pemerintah pada periode ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan pada semua sektor dari unsur-unsur peninggalan pemerintah Orde Lama, terutama dari paham komunis.  Pada masa ini juga diisi dengan kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan penurunan tingkat inflasi dari +/- 650% menjadi  +/- 10%.

b.  Periode Pelitaa I
v Kebijaksanaan paa periode ini dimulaidengan: Peraturan Pemerintah No.16 Tahun1970, mengenai penyempurnaan tata niaga bidang eksport dan import.
v Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang rupiah terhadap dolar, dengan sasaran pokoknya yaitu;
·   Kestabilan haga bahan pokok
·    Peningkatan nilai ekspor
·   Kelancaran impor
·   Penyebaran barang di dalam negeri
c.   Periode Pelita II
Pada periode ini diisi denga kebijaksanaan mengenai perkreditan untuk mendorong para
eksportir kecil dan menengah disamping untuk mendorong kemajuan pengusaha
kecil/ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK)
d.  Periode Pelita III
Periode ini diwarnai dengan devisitnya neraca perdagangan Indonesia, yang disebabkan
karena diterapkannya tindakan proteksi dua kuota oleh negara-negara pasaran komoditi
ekspor Indonesia.adapun kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang sempat
dikeluarkan dalam periode ini adalah:
·   Paket Januari 1982
·   Paket kebijaksanaan imbal beli
·   Kebijaksanaan Devaluasi 1983
e.   Periode Pelita IV
Beberapa kebijaksanaan pemerintah yang lahir dalam periode ini adalah:
·   Kebijaksanaan INPRES No.4 Tahun 1985, kebijaksanaan ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor non-migas.
·   Paket kebijaksanaan 6 Mei 1968 (PAKEM), bertujuan untuk mendorong sektor swasta
di bidang ekspor maupun di bidang penanaman modal.
·   Pket devaluasi 1986, tindakan ini ditempuh karna jatuhnya harga minyak di pasaran
dunia yang mengakibatkan penerimaan pemerintah turun.
·   Paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986, merupakan deregulasi di bidang perdagangan,
moneter, dan penanaman modal.
·   Paket kebijaksanaan 15 Januari 1987, dengan melakukan peningkatan efisiensi,
inovasi, dan produktivitas beberapa sektor industri (menengah ke atas) dalam rangka
meningkatkan ekspor migas.
·   Paket kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES),  dengan melakukan restrukturisasi
bidng ekonomi , terutama dalam usaha memperancar perijinan (deregulasi)
·   Paket 27 Oktober 1988, kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar odal dan untuk menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
·   Paket kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV), dengan melakukan deregulasi
dan debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan laut.
·   Paket kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES) kebijaksanaan di bidang keuangan
dengan memberikan keluasan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan
aktivitas yang lebih produktif.

f.    Periode Pelita V
Dilaksanakan pada tanggal 1 April 1989 hingga 31 Maret 1994. Titik beratnya pada sektor pertanian dan industri. Indonesia memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 % per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
             
1.                         2. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a.   Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar.
b.   Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
a.   Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
b.   Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
c.    Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
d.   Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

3. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah dengan cara meningkatkan atau menurunkan pendapatan Negara atau belanja Negara dengan tujuan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat pendapatan nasional. Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:
v                   Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi.
   Pola persebaran sumber daya.
v                    Distribusi pendapatan
a.   Fungsi Kebijakan Fiskal
Fungsi kebijakan fiscal adalah untuk memperbaiki keadaan ekonomi, mengusahakan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran), dan menjaga kestabilan harga-harga secara umum.
b.   Macam-macam Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiscal terbagi atas dua macam, yaitu:
c.    Kebijakan fiscal stabilisator otomatis.
Adalah kebijakan sebagai alat stabilisasi kegiatan ekonomi, peralatan tersebut adalah pajak dan pengeluaran                   yang dikategorikan dalam transfer payment.
         Kebijakan ini terbagi dua:
         • Perubahan penerimaan pajak otomatis.
         • Tunjangan pengangguran dan pembayaran transfer.
d.   Kebijakan fiscal diskresioner.
Adalah kebijakan fiscal yang digunakan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi yang sedang di hadapi dan         langkah-     langkah pemerintah untuk mengubah pengeluaran/pemungutan pajak.
Kebijakan tersebut bertujuan: mengurangi gerak naik turun tingkat kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menciptakan tingkat kegiatan ekonomi, dengan tingkat kesempatan kerja tinggi.

4.  Kebijakan Fiskal dan Moneter di Sekitar Luar Negeri
a.                Kebijakan Fiskal (Definisi, Dimensi Politik, dan Contoh Kasus)
 v Definisi Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan atau pemilihan instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam bidang penerimaan serta pengeluaran pemerintah. Subjek kebijaksanaan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah dengan segala aspeknya termasuk aspek hukum, aspek politik, dan lain-lain. Perubahan tingkat komposisi pengaturan pengeluaran dan penerimaan dapat berdampak pada variable-variabel perekonomian yaitu agregat permintaan dan tingkat kegiatan ekonomi; pola alikasi sumber daya; dan distribusi sumberdaya. Kebijakan fiskal sebenarnya merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Contoh sederhananya adalah apabila kita mengubah besar kecilnya pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Tapi, hal ini tidak selalu mutlak tergantung situasi dan kondisi dalam masyarakat tersebut.
Terkait dengan penganggaran kebijakan fiskal dapat dibagi menjadi tiga. Pertama anggaran defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif. Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif. Kedua Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif. Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Ketiga Anggaran Berimbang (Balanced Budget). Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
    v Dimensi Politik Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal berhubungan dengan pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Dalam suatu pengelolaan atau pembentukan kebijakan, dalam hal ini kebijakan fiskal, mulai dari perumusan suatu kebijakan, formulasi kebijakan, sampai pada implementasi dan evaluasi tak luput dari aspek-aspek politik yang ada. Disamping karena konsep kebijakan itu sendiri merupakan salah satu konsep dari Ilmu politik, yang paling menonjol dimensi politiknya adalah bagaimana kebijakan fiskal itu bisa terbentuk. Interaksi-interaksi aktor dalam pembentukan kebijakan ini lah sebagai dimensi politik kebijakan fiskal, bagaiman suatu kumpulan angka-angka dan rencana-rencana yang ada diperdebatkan. Tentu semua aktor mempunyai kepentingan dalam suatu pengaturan tersebut.
Dalam konteks Indonesia, salah satu benutuk kebijakan fiskal adalah pengelolaan anggaran, dimana eksekutif mengajukan rancangan suatu anggaran ke legislatif (DPR), kemudia dalam DPR ini lah suatu rancangan itu dibahas untuk di sahkan. Disini berbagai kepentingan bertemu untuk saling bertransaksi. Dalam kebanyakan kasus apabila sudah tercapai kesepakatan nilai-nilai antar aktor yang tercermin dalam suatu pembahasan draft kebijakan, maka barulah suatu kebijakan tersebut terbentuk.
Contoh Kasus
Akibat dari krisis ekonomi 1998 yang menyebabkan sektor riil macet dan hiperinflasi, Utang Indonesia pada tahun 2000 mencapai Rp 1.226,1 triliun atau sekitar 96%dari PDB. Meningkatnya beban utang tersebut hampir seluruhnya ditimbulkan karena utang dalam negeri dengan jumlah yang besar sebagai akibat dari upaya kita untuk menyelamatkan sektor pebankan yang kacau akibat krisis. Jumlah utang dalam negeri terakumulasi sebesar Rp 643 triliun, yang ditimbulkan akibat tiga kebijakan pokok atau kebijakan fiskal yang diambil dari pihak pemerintah untuk menopang perbankan nasional selama krisis, diantaranya adalah kebijakan BLBI, kebijakan penjaminan bank, kebijakan rekapitalisasi.
Kebijakan BLBI, untuk mengatasi situasi darurat berupa kelangkaan likuiditas yang akut sebagai akibat dari arus dana keluar yang tidak terbendung dan makin membesar dalam perekonomian. Kebijakan penjaminan bank, untuk mengatasi krisis kepercayaan, dengan memberikan jaminan penuh kepada nasabah dan kepada mereka yang bertransaksi dengan bank. Rekapitalisasi Bank, selanjutnya adalah bagaimana membuat agar bank-bank yang tersisa setelah gelombang proses penutupan pada tahun 1998-1999 dapat beroperasi secara normal.
b.   Kebijakan Moneter (Definisi, Dimensi Politik, dan Contoh Kasus)
    v Definisi Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
v Dimensi Politik Kebijakan Moneter
Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan fiskal. Suatu kebijakan sendiri itu merupakan salah satu konsep dari Ilmu Politik. Mengenai kebijakan moneter dengan keterbatasan anggaran yang, atas dasar apa kebijakan itu dibuat, misalnya adalah dalam hal mengeset standart bungan pinjaman, atau dalam hal bantuan liquiditas. Tentu aspek-aspek politik tak terlepas dalam penentuan tersebut. Kebijakan monter berperan dalam menstabilkan perekonomian, sektor yang terlebi dahulu merasakan adalah sektor perbankan yang kemudian di transfer ke sektor riil yang baik secara langsung dan tidak langsung pasti terpengaruhi atau dipengaruhi oleh situasi politik yang ada.
Contoh Kasus Kebijakan Moneter
Krisis ekonomi tahun 2008 yang dialami Amerika merupakan suatu fenomena yang begitu besar yang dampaknya menyebar ke berbagai negara lain. Dalam konteks perbankan Indonesia, Pemerintah perlu berhati-hati, karena tidak ada yang dapat memperkirakan dalam dan luasnya krisis keungan global ini. Dampak yang paling dirasakan adalah nilai tukar Rupiah. Adanya penarikan dana besar-besaran dalam valas (khususnya USD) oleh lembaga keuangan kreditor dan investor di Amerika Serikat menyebabkan kenaikan yang cukup besar terhadap permintaan valas (khususnya USD). Rupiah pun mengalami depresiasi yang sangat tajam terhadap USD. Bahkan, nilai tukar Rupiah sempat mencapai Rp. 12.900/USD pada November 2008.
Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap USD tentu saja sangat memberatkan aktivitas impor Indonesia, terutama impor barang elektronik, komoditas pertanian, ataupun barang otomotif yang harganya menjadi lebih mahal. Sektor produksi juga terpengaruh dikarenakan pembelian alat-alat produksi impor yang semakin mahal dan juga pembayaran dari hutang-hutang yang jatuh tempo. Di sisi ekspor, meskipun Dollar menguat terhadap Rupiah, bukan berarti hal tersebut mutlak menggembirakan karena meskipun harga barang ekspor lebih murah, daya beli negara tujuan (AS) pun melemah karena bank dan sumber pembiayaan di AS mengalami kesulitan likuiditas sehingga tidak dapat menyalurkan kredit dengan lancar.
Menyikapi permasalahan ini, Pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa serangkaian kebijakan untuk mengurangi kekhawatiran/ketidakpercayaan publik terhadap kapabilitas dan likuiditas bank-bank nasional. Salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah saat itu adalah dengan penaikkan BI rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai Rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai Rupiah akibat spread bunga domestik dan luar negeri yang cukup tinggi.

5. Kebijakan Subsidi BBM
Belakangan beredar berita tentang kebijakan pemerintah yang akan membatasi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) terutama premium untuk kalangan pengguna sepeda motor. Kebijakan yang diambil pemerintah ini tak lain dan tak bukan adalah karena dilatarbelakangi oleh program konversi minyak tanah ke gas yang telah berjalan dengan baik. Kemudian rencana pembatasan subsidi BBM inilah tindak lanjut dari program konversi tersebut yang kali ini adalah konversi penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor dari premium ke pertamax, yang sebagaimana kita ketahui pertamax adalah salah satu Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak disubsidi oleh pemerintah sehingga harga pertamax sangat mahal yakni berkisar antara Rp 7.350 – Rp 7.400 per liter. Harga tersebut jika dibandingkan dengan harga premium (bensin) memang terbilang cukup jauh, yakni untuk sementara pada tahun 2010 ini harga premium masih berkisar antara Rp 4.500/liter (Harga SPBU atau harga resmi) sampai dengan Rp 5.000/liter (Harga Eceran). Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang baru tahap rencana ini dan mungkin akan segera diujicobakan pada bulan Agustus 2010 mendatang. Yang lebih mengherankan adalah keputusan pemerintah yang akan melarang kendaraan bermotor roda dua untuk mengonsumsi bahan bakar bersubsidi jenis premium secara bertahap di Pulau Jawa (Solopos, 27 Mei 2010). Walau hal tersebut untuk saat ini masih dalam tahap rencana tetapi jika hal tersebut benar – benar terealisasi, maka akan banyak pihak yang merasa dirugikan dari kebijakan tersebut.
Kebijakan Pemerintah akan pembatasan subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengalihkan penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor dari premium (bensin) ke pertamax merupakan sebuah keputusan yang sangat berani dari pemerintah, sebab kebijakan pemerintah tersebut “Bagai buah simalakama” maksudnya diambil atau tidaknya kebijakan ini tetap akan menimbulkan kerugian semua pihak. Jika kebijakan pemerintah tersebut benar – benar akan terealisasi, maka dipastikan akan banyak gelombang penolakan dan hujan protes dari berbagai kalangan yang mengalami kerugian karena pengambilan kebijakan tersebut, tetapi jika tidak akan direalisasikan negeri ini juga akan mengalami kerugian dalam jangka pendek dan jangka menengah. Pada intinya masalah yang timbul di masa yang akan datang adalah banyaknya dampak yang akan ditimbulkan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah ini, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Dikeluarkannya rencana kebijakan ini oleh pemerintah memang bukanlah sesuatu yang berbau spekulatif (untung – untungan), dalam hal ini pemerintah memiliki alasan kuat mengapa harus mengeluarkan kebijakan yang sebagian kalangan menganggap kebijakan yang konyol ini. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah menyangkut tentang masalah keuangan Negara (APBN), masalah Sumber Daya Alam, hingga masalah lingkungan. Pemerintah beranggapan bahwa kebijakan pembatasan subsidi BBM ini bertujuan untuk menjaga konsumsi BBM bersubsidi agar tidak melampaui kuota anggaran APBN-P 2010 sebesar 36,5 juta kiloliter (Solopos, 29 Mei 2010). Hal tersebut mungkin dapat dibenarkan karena jika pemerintah terus – menerus mengeluarkan biaya untuk menyubsidi BBM dapat dipastikan lama kelamaan keuangan Negara juga akan ikut goyah karena biaya yang dianggarkan di APBN juga tidak sedikit. Jumlah anggaran juga akan ikut membengkak jika penggunaan bahan bakar naik secara signifikan. Penggunaan bahan bakar ini berbanding lurus dengan jumlah kendaraan yang ada sekarang ini, artinya dengan meningkatnya jumlah kendaraan di Indonesia juga mempengaruhi peningkatan penggunaan bahan bakar. Sementara sejak tahun 2001 jumlah penggunaan sepeda motor semakin meningkat sampai dengan tahun 2009.
Dari diagram diatas dapat terlihat bahwa jumlah produksi dan penjualan meningkat dan dengan demikian dapat diasumsikan pula terjadi peningkatan terhadap penggunaan bahan bakar pada kendaraan bermotor roda dua. Alasan kedua dari diambilnya kebijakan pemerintah ini yakni semakin menipisnya cadangan bahan bakar jenis premium, sehingga memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan tersebut. Menurut Menteri dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh mengatakan bahwa selama ini sektor transportasi merupakan konsumen terbesar yang menikmati subsidi BBM bersubsidi mencapai 90% dari kuota yang ditetapakan pemerintah secara keseluruhan (Solopos, 29 Mei 2010). Alasan ketiga yang dikemukakan oleh pemerintah adalah bersangkutan tentang masalah emisi gas buang, alasannya jika kendaraan bermotor menggunakan pertamax maka dimungkinkan emisi yang dikeluarkan akan lebih kecil dari kendaraan bermotor yang menggunakan bensin (walaupun pada kenyataannya emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor berbahan bakar bensin untuk sekarang ini sebenarnya sudah sangat kecil).
Jika dilihat jangka panjang, rencana kebijakan pemerintah tersebut dapat dibilang cukup baik, namun untuk jangka pendek dan jangka menengah mungkin akan menuai banyak permasalahan. Dalam hal ini yang paling dirugikan dari munculnya masalah tersebut adalah masyarakat menengah ke bawah, karena sebagian besar pengguna sepeda motor adalah masyarakat pada level menengah ke bawah. Oleh sebab itu, jika pemerintah jadi membatasi bahkan menghapus subsidi BBM bagi kendaraan bermotor roda dua, maka masyarakat yang memiliki taraf perekonomian menengah ke bawah akan mengalami banyak kendala dalam kegiatan perekonomian mereka, karena masyarakat kelas menengah ke bawah pada umumnya menggunakan kendaraan roda dua mereka untuk kegiatan perekonomian mereka, misalnya saja sepeda motor yang digunakan untuk bekerja atau mencari nafkah (ojek, berjualan keliling, dan sebagainya). Dengan demikian tampak ketidaktepatan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini, karena hal tersebut bisa memperburuk perekonomian dalam negeri yang mungkin saja akan mengalami kelumpuhan dalam berbagai sektor. Anggota Komisi VII dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nur Yasin yang juga menolak dengan kebijakan pemerintah untuk pembatasan subsidi BBM bagi kendaraan roda dua ini mengatakan justru kelompok pengguna kendaraan roda dua inilah yang harus mendapatkan suntikan subsidi dari pemerintah guna menjaga pertumbuhan ekonomi (Jurnalparlemen.com, 29 Mei 2010). Beliau juga mengatakan bahwa sebenarnya 70% pengguna BBM bersubsidi saat ini dinikmati oleh kalangan menengah keatas untuk konsumsi bahan bakar mobil pribadi mereka yang jauh diatas konsumsi kendaraan bermotor. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Wakil Ketua AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia) Johannes Loman yang menegaskan dalam Koran harian Solopos (27 Mei 2010), saat ini konsumsi BBM jenis premium oleh sepeda motor jumlahnya tak sebanding dengan konsumsi mobil, ia juga mengatakan bahwa satu mobil itu setara dengan 10 motor dalam konsumsi BBM.
Itulah dua sisi yang satu sisi menguntungkan namun disisi lainnya juga merugikan beberapa pihak. Seperti yang telah diungkapkan pada awal tulisan ini, jika dalam peribahasa keadaan ini disebut “Bagai Buah Simalakama” artinya jika pemerintah mengambil kebijakan maka akan menimbulkan masalah (kerugian), tetapi juga tidak diambil juga akan menimbulkan masalah (kerugian) pula. Namun, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, semua pasti akan ada jalan keluarnya. Salah satu dari jalan keluar yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah kebijakan pemerintah dalam membatasi subsidi BBM kepada kendaraan roda dua ini ada dua kemungkinan yang bisa diambil. kemungkinan pertama jika pemerintah benar – benar akan merealisasikan rencana kebijakan tersebut maka pemerintah harus menyamakan atau menyetarakan antara harga premium dan harga pertamax, kemudian kemungkinan kedua adalah jika pemerintah membatalakan kebijakan yang telah direncanakannya, maka pemerintah harus menurunkan harga pertamax dan menaikkan harga premium tetapi tidak signifikan. Dengan diberlakukannya harga yang sama antara bensin dan pertamax maka masyarakat bisa memilih sendiri mana yang akan dipakai, maksud dari hal ini adalah agar masyarakat tidak merasa ditekan atau dipaksa terhadap keputusan pemerintah. Dengan pemberlakuan harga yang sama ini juga diharapkan masyarakat dapat berpindah ke pertamax secara perlahan – lahan, karena pada umumnya sifat konsumsi masyarakat Indonesia adalah menginginkan harga murah dengan kualitas tinggi. Jika hal tersebut benar, dimungkinkan masyarakat akan berpindah ke pertamax yang tentu saja kualitasnya lebih baik (lebih baik dari pada premium) yakni angka oktan yang dimiliki pertamax berkisar antara 92 – 95 sedangkan premium 82, tetapi hal ini harus diikuti dengan penyetaraan antara harga premium dan pertamax. Namun, dari semua proses yang ada, terdapat satu hal yang tidak boleh terlupakan dan merupakan syarat wajib dalam mensukseskan setiap kebijakan pemerintah yakni sosialisasi. Pemerintah wajib hukumnya untuk mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat. Sosialisasi ini dirasa penting sehubungan dengan adanya paradigma yang banyak muncul yakni ketakutan masyarakat terhadap penggunaan pertamax untuk bahan bakar sepeda motor mereka, karena banyak rumor yang mengatakan penggunaan pertamax untuk sepeda motor dapat menyebabkan sepeda motor menjadi sangat cepat panas dan dapat menimbulkan kerusakan kepada motor. Colin Latung (konsultan perminyakan dari URS Indonesia) dalam Motorplus-Online mengatakan bahwa kompresi pada sepeda motor berbanding lurus dengan angka oktan, jadi kompresi harus diimbangi dengan oktan yang tinggi. Kemudian menurut beliau kalau tetap memaksakan motor dengan kompresi tinggi menggunakan oktan rendah, piston akan jebol. Dampaknya biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar. Mengubah penggunaan premium tergantung kompresi sepeda motor. Untuk sepeda motor 4-tak lokal umumnya memiliki kompresi berkisar antara 9:1 sampai 9,3:1. Bahkan motor 4-tak impor memiliki kompresi hingga 10,2:1. Dalam keadaan standart sepeda motor jenis 4-tak sebenarnya sudah mampu untuk penggunaan sepeda motor karena antara angka oktan pertamax dengan kompresi sepeda motor memiliki tingkat kesesuaian yang baik. Berikut tabel perbandingan antara angka oktan dan kompresi
No.
Jenis Bahan Bakar
Angka Oktan
Kompresi
1.
Pertamax Plus
95
10:1 – 11:1
2.
Pertamax
92
9:1 – 10:1
3.
Premium
82
7:1 – 9:1
Sumber : Motorplus-Online
Dalam tabel tersebut juga dapat dilihat premium sebenarnya hanya cocok sepeda motor 2-tak saja karena kompresi yang dimilikinya lebih rendah dari sepeda motor 4-tak yakni 7,2:1. Hal inilah yang seharusnya lebih disosialisasikan oleh pemerintah jika kebijakan untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi dan menggantinya ke pertamax ini benar – benar akan terealisasikan, agar masyarakat tidak mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap perpindahan bahan bakar sepeda motor mereka dari premium ke pertamax.




 Sumber:
    http://tantitrisetianingsih.blogspot.com/2012/04/kebijaksanaan-pemerintah.html
    http://syarif89.wordpress.com/2011/04/26/tugas-5/
     http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter
     http://04locker.blogspot.com/2011/04/kebijakan-fiskal-dan-kebijakan-moneter.html
     http://eduprisma.blog.uns.ac.id/2010/10/30/rencana-kebijakan-pemerintah-tentang-pembatasan-subsidi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar