Jumat, 28 November 2014

TUGAS PAPER

PERAN PROFESIONALISME AUDITOR DALAM MENGUKUR TINGKAT
MATERIALITAS PADA PEMERIKSAAN LAPORAN KEUANGAN

RATRI PUSPANINGRUM
UNIVERSITAS GUNADARMA

ABSTRAKSI
Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan akan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor dan menerima pendapat wajar tanpa pengecualian, diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material dan disajikan dengan prinsip akuntansi umum diterima. Permintaan utama Profesionalisme seseorang yang bekerja sebagai auditor. Gambar seseorang yang professional dalam profesi auditor tercermin dalam lima dimensi: dedikasi terhadap profesi, kewajiban sosial, kemandirian, kepercayaan dalam aturan profesi, dan hubungan dengan rekan-rekan. Dalam melakukan audit keuangan laporan, auditor diminta untuk membuat pertimbangan tingkat materialitas dalam perencanaan dan perancangan Audit prosedur, serta penilaian kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.
Kata kunci: Auditor Profesionalisme, Materialitas, Pemeriksaan Laporan Keuangan

PENDAHULUAN
Profesi akuntan publik dikenal oleh masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi pemakai informasi keuangan. Laporan keuangan perusahaan dimanfaatkan oleh pemilik perusahaan untuk menilai pengelolaan dana yang  dilakukan oleh manajemen perusahaan. Manejemen perusahaan memerlukan jasa pihak ketiga agar pertanggungjawaban keuangan yang disajikan kepada pihak luar dapat dipercaya, sedangkan pihak luar perusahaan memerlukan jasa pihak ketiga untuk memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan dapat dipercaya sebagai dasar keputusan-keputusan yang diambil oleh mereka.Pihak ketiga yang dimaksud di atas adalah akuntan publik. Dari profesi inilah masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas yang tidak memihak
terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi, 2002:3). Alasan utama adanya profesi akuntan publik adalah untuk melakukan fungsi pengesahan atau meyakinkan akan kewajaran laporan keuangan. Fungsi pengesahaan ini ada dua tahap: Pertama, auditor harus melakukan pengauditan (pemeriksaan laporan keuangan); hal ini dilakukan untuk memperoleh bukti yang obyektif dan relevan sehingga auditor tersebut dapat menyatakan pendapatnya terhadap laporan keuangan yang diauditnya. Kedua adanya penyusunan laporan keuangan yang dituju kepada pemakai laporan keuangan yang memuat pendapat auditor tentang kewajaran laporan keuangan yang bersangkutan (Ikatan Akuntan Publik Indonesia, 2007). Gambaran seorang yang profesional dalam profesi eksternal auditor (Hastuti, Indarto, dan Susilowati, 2003) dicerminkan kedalam lima hal yaitu pengabdian pada profesi (dedication),  kewajiban sosial (socialabligation), hubungan sesama profesi (community affiliation), kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand), dan keyakinan terhadap profesi ( belief selfregulation).Dalam melakukan proses pemeriksaan laporan keuangan, auditor diharuskan untuk melakukan pertimbangan tingkat materialitas dalam perencanaan dan perancangan prosedur audit, serta pada saat mengevaluasi kewajaran laporan keuangan secara kesuluruhan. Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dillihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahaan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu (Mulyadi, 2002:134). Untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik, maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada kode etik akuntan, standar profesi dan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Standar pengauditan mencakup mutu profesional auditor, independensi, pertimbangan yang digunakan dalam laporan pelaksanaan dan penyusunan laporan audit. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tingkat materialitas merupakan pertimbangan tingkat professional yang harus dilakukan selama proses audit berlangsung.

PEMBAHASAN
Pengertian Audit
Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan (Arens dan Loebbecke, 2006:1). Auditing juga merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi, 2002:9). Pemahaman tentang auditing berdasarkan sudut pandang profesi akuntan publik merupakan pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut (Mulyadi, 2002:11).

Tipe Audit
Auditing umumnya digolongkan menjadi 3 golongan yakni (Arens dan Loebbecke, 2006):
1. Audit Laporan Keuangan
Audit Laporan Keuangan adalah audit yang  dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dalam Audit Laporan Keuangan ini, auditor independen menilai kewajaran Laporan Keuangan atas dasar kesesuainnya dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2. Audit Kepatuhan
Audit kepatuhan adalah audit yang tujuaannya untuk menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang membuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan.
3.  Audit Operasional
Audit Operasional merupakan review secara sistematik kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Pihak yang memerlukan audit opersional adalah manajemen atau pihak ketiga. Hasil audit operasional diserahkan kepada pihak yang meminta dilaksanakannya audit tersebut.
Proses Audit
Audit merupakan suatu proses dimana dalam pelaksanaannya harus mengikuti tahap-tahap sesuai dengan standar yang berlaku. Menurut Arens dan Loebbecke (2006), proses audit adalah metodologi pelaksanaan audit yang jelas untuk membantu auditor dalam mengumpulkan bahan bukti pendukung yang kompeten. Untuk mencapai tujuan audit, makadiperlukan beberapa proses dalam pelaksanaannya, terdapat empat tahap audit yaitu:
1. Merencanakan dan merancang pendekatan audit
Dalam setiap audit ada bermacam-macam cara yang dapat ditempuh seorang auditor dalam pengumpulan bahan bukti untuk mencapai tujuan audit secara keseluruhan. Dua perhitungan yang mempengaruhi pendekatan yang akan dipilih adalah bahan bukti yang kompeten yang cukup yang harus dikumpulkan untuk memenuhi tanggung jawab profesional dari auditor dan biaya pengumpulan barang bukti harus ada.
2. Pengujian pengendalian dan transaksi
Pengujian pengendalian dimaksudkan untuk menguji keefektifan pengendalian yang telah ditetapkan tingkat resikonya berdasarkan identifikasi pengendalian.Pengujian atas transaksi dimaksudkan untuk memeriksadokumentasi transaksi dalam tujuan pengujian atas pengendalian.
3. Melaksanakan prosedur analitis dan pengujian terinci atas saldo
Prosedur analitis digunakan untuk menetapkan kelayakan transaksi dan saldo secara keseluruhan.Pengujian terinci atas saldo adalah prosedur khusus untuk menguji kekeliruan moneter dalam saldo-saldo laporan keuangan.
4. Menyelesaikan audit dan menerbitkan laporan audit
Setelah semua prosedur diselesaikan, dilakukan penggabungan seluruh informasi yang didapat untuk memperoleh kesimpulan menyeluruh mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan. Proses ini sangat subyektif dan sangat tergantung pada pertimbangan profesional auditor.Pengertian Profesionalisme Auditor Bidang akuntansi telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan label “profesi”.Badan yang menyusun standar, proses pengujian dan lisensi, asosiasi profesional, dan kode etik merupakan bukti adanya struktur profesional untuk akuntansi dan akuntan. Sikap Profesional tercermin pada pelaksanaan kualitas yang merupakan karakteristik atau tanda suatu profesi atau seorang profesional. Dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menerapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan (Herawati dan Susanto, 2009:13-20). Menurut Lekatompessy (2003), profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual, dimana profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak (Kalbers dan Fogarty, 1995) dalam Wahyudi dan Mardiyah, 2006). Konsep dari profesionalisme lebih ditekankan pada kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan standar pekerjaan tersebut. Sebuah profesi memang menuntut adanya profesionalisme karena sebuah profesi memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi dan ditaati. Profesionalisme bisa dilihat dari perilaku karena perilaku profesional merupakan cerminan dari sikap profesionalisme. Untuk itu, penekanan pada tingkat profesionalisme lebih didasarkan pada sikap seseorang dalam menyingkapi berbagai masalah sehubungan dengan pekerjaan yang harus ditanganinya (Fridati, 2005). Ketika seseorang dengan profesi tertentu mampu bersikapbijaksana dilihat dari tuntutan tanggung jawab sesuai dengan profesinya, maka seseorang  tersebut bisa dikatakan profesional. Pengukuran Profesionalisme AuditorDalam pengukuran seorang auditor yang profesional terdapat lima elemen profesionalisme tersebut yang telah dirumuskan kembali sebagai berikut (Hastuti dkk., 2003):
1. Profesionalisme pengabdian terhadap profesi
Dicerminkan melalui dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki dan tetap melaksanakan profesinya meskipun imbalan ekstrinsiknya berkurang. Pengetahuan akuntan publik digunakan sebagai salah satu kunci keefektifan kerja. Dalam audit, pengetahuan tentang bermacam-macam pola yang berhubungan dengan kemungkinan kekeliruan dalam laporan keuangan penting untuk membuat perencanaan audit yang efektif (Noviyani dan Bandi, 2002). Sikap  ini berkaitan dengan ekspresi dari pencurahan diri secara keseluruhan terhadap pekerjaan dan sudah merupakan suatu komitmen pribadi yang kuat, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani dan setelah itu baru materi.
2. Profesionalisme Hubungan dengan rekan seprofesi
Hubungan dengan sesama profesi menggunakan ikatan profesi sebagai acuan termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi.
3.   Profesionalisme kewajiban sosial
Kewajiban sosial merupakan pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Sikap profesionalisme dalam pekerjaan tidak terlepas dari kelompok orang yang menciptakan sistem suatu organisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa atribut profesional diciptakan sehingga layak diperlakukan sebagai suatu profesi.
4.   Profesionalisme kemandirian
Kebutuhan untuk mandiri merupakan suatu pandangan seorang professional auditor yang harus mampu membuat keputusan sendiri dalam penentuan tingkat materialitas tanpa tekanan pihak lain. Adanya intervensi yang datang dari luar dianggap sebagai hambatan yang dapat mengganggu otonomi profesional. Banyak orang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak bagi mereka dan hak istimewa untuk membuat keputusan-keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Kemandirian akan timbul melalui kebebasan yang diperoleh. Dalam pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan oleh manajemen secara ketat, akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa kemandirian dalam tugas.
5. Profesionalisme keyakinan terhadap peraturan profesi.
Sikap ini adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang dan berhak untuk menilai pekerjaan profesional adalah sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompeten dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. Auditor harus selalu meningkatkan profesionalisme sehingga mereka accountable baik terhadap orang lain ataupun diri sendiri. Oleh karena itu pendidikan profesionalisme berkelanjutan mutlak diperlukan baik menyangkut komputerisasi data kompleksitas transaksi terbaru dibidang audit maupun perubahan dari bidang keuangan yang menyangkut pengukuran nilai mata uang. Pedoman Auditor untuk Berperilaku Profesional Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) berwenang menetapkan standar (pedoman) dan aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota termasuk setiap kantor akuntan publik lain yang beroperasi sebagai auditor independen. Persyaratan- persyaratan ini dirumuskan oleh komite-komite yang dibentuk oleh IAPI. Pedoman-pedoman yang bisa menjadi pijakan seorang auditor untuk berperilaku profesionalisme (IAPI, 2007) diantaranya adalah:
1. Standar Auditing
Standar auditing merupakan pedoman audit atas laporan keuangan historis. Komite Standar Profesional Akuntan Publik IAPI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar auditing.Standar auditing ini sebagai  bentuk penyempurnaan dari standar sebelumnya yang disebut sebagai Norma Pemeriksaan Akuntan (NPA).
2. Standar kompilasi dan penelaah laporan keuangan
Komite SPAP IAPI dan Compilation and Review Standards Committee  bertanggung jawab untuk mengeluarkan pernyataan mengenai pertanggung jawaban akuntan publik sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan yang tidak di audit. Pernyataan ini di Amerika serikat disebut Statments on Standards for Accounting and Review Services dan di Indonesia disebut Pernyataan Standar Jasa Akuntansi dan Review atau PSAR. PSAR disahkan 1 Agustus 1994 menggantikan pernyataan NPA sebelumnya mengenai hal yang sama.
3. Standar atestasi
Atestasi (attestation) adalah suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan yang diberikan oleh seorang yang independen dan kompeten yang menyatakan apakah asersi (assertion) suatu entitas telah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Asersi adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh satu pihak yang dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain, contoh asersi dalam laporan keuangan historis adalah adanya pernyataan manajemen bahwa laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum
4. Standar Jasa Konsultansi
Standar Jasa Konsultansi merupakan panduan bagi praktisi (akuntan publik) yang menyediakan jasa konsultansi bagi kliennya melalui kantor akuntan publik. Dalam jasa konsultansi, para praktisi menyajikan temuan, kesimpulan dan rekomendasi. Sifat dan  lingkup pekerjaan jasa konsultansi ditentukan oleh perjanjian antara praktisi dengan kliennya.Umumnya, pekerjaan jasa konsultansi dilaksanakan untuk kepentingan klien.
5. Standar Pengendalian Mutu
Standar Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik (KAP) memberikan panduan bagi  kantor akuntan publik di dalam melaksanakan pengendalian kualitas jasa yang dihasilkan oleh kantornya dengan mematuhi berbagai standar yang diterbitkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan PublikInstitut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP IAPI) dan Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang diterbitkan oleh IAPI.Dalam menghasilkan kualitas kerja tinggi seorang auditor harus menerapkan prinsip etika profesional.Tuntutan etika profesi harus diatas hukum tetapi dibawah standar ideal agar etika tersebut mempunyai arti dan berfungsi sebagaimana mestinya.Secara umum ada enam prinsip etika profesi auditor (Herawati dan Susanto, 2009) yaitu tanggung jawab, kepentingan publik, integritas, obyektivitas dan independensi, kecermatan dan keseksamaan, lingkup dan sifat jasa.
Pengertian Materialitas
Materialitas menurut Arens dan Loebbecke (2006:260) adalah jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji dalam informasi akuntansi yang dalam kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan, mungkin membuat pertimbangan pengambilan keputusan pihak yang berkepentingan berubah atau terpengaruh oleh salah saji tersebut. Definisi materialitas tersebut mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan baik keadaan yang berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan. Konsep materialitas menunjukkan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh seorang auditor agar para pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut (Widjaya, 2005 dalam Herawati dan Susanto, 2009). Pedoman materialitas yang beralasan, yang diyakini oleh sebagian besar anggota profesi akuntan adalah standar yang berkaitan dengan informasi laporan keuangan bagi para pemakai, akuntan harus menentukan berdasarkan pertimbangannya tentang besarnya sesuatu/informasi yang dikatakan material (Wahyudi dan Mardiyah, 2006).Konsep materialitasmenyatakan bahwa tidak semua informasi keuangan diperlukan atau tidak semua informasi keuangan seharusnya dikomunikasikan dalam laporan akuntansi, hanya informasi yang material yang seharusnya disajikan.Informasi yang tidak material seharusnya diabaikan atau dihilangkan. Pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan (IAPI, 2007). Beberapa kajian tentang pertimbangan tingkat materialitas berfokus pada penemuan tentang jumlah konsisten yang ada diantara para professional dalam membuat pertimbangan tingkat materialitas (Wahyudi dan Mardiyah, 2006). Penentuan Pertimbangan Tingkat Materialitas Idealnya, auditor menentukan pada awal audit jumlah gabungan dari salah saji dalam laporan keuangan yang akan dipandang material. Hal ini disebut pertimbangan awal tingkat materialitas karena menggunakan unsur pertimbangan profesional, dan masih dapat berubah jika sepanjang audit yang akan dilakukan ditemukan perkembanganyang baru. Pertimbangan awal tingkat materialitas adalah jumlah maksimum salah saji dalam laporan keuangan yang menurut pendapat auditor, tidak mempengaruhi pengambilan keputusan dari pemakai. Penentuan jumlah ini adalah salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh auditor, yang memerlukan pertimbangan profesional yang memadai.
Tujuan penetapan materialitas ini adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup.Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah maka lebih banyak bahan bukti yang harus dikumpulkan dari pada jumlah yang tinggi, begitu juga sebaliknya. Seringkali mengubah jumlah materialitas dalam pertimbangan awal ini selama audit. Jika ini dilakukan, jumlah yang baru tadi disebut pertimbangan yang direvisi mengenai materilitas. Sebabsebabnya antara lain perubahan faktor-faktor yang digunakan untuk menetapkannya, atau auditor berpendapat jumlah dalam penetapan awal tersebut terlalu kecil atau besar. Laporan keuangan mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan disajikan secara tidak wajar dalam semua hal yang material. Salah saji dapat terjadi akibat dari kekeliruan ataupun kecurangan(IAPI,  2007).
Peran Profesionalisme Auditor terhadap Materialtias
Seorang auditor mempertimbangkan tingkat materialitas pada saat perencanaan dan pelaksanaan audit atas laporan keuangan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Laporan keuangan dapat mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individu maupun keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan yang keliru prinsip akuntansi tersebut, penyimpangan fakta, atau dihilangkannya informasi yang diperlukan (Yendrawati, 2008). Terdapat berbagai tolok ukur dari seorang auditor dapat dikatakan sebagai auditor yang profesional. Adapun tolak ukur tersebut didasarkan pada dimensi-dimensi profesionalisme auditor, diantaranya adalah: pengabdian auditor terhadap profesi, kesadaran auditor akan kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi, dan hubungan dengan sesama profesi. Peran profesionalisme auditor terhadap pertimbangan tingkat materialitas mengidentifikasikan hubungan setiap dimensi yang meliputi: pengabdian terhadap profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi, hubungan dengan rekan seprofesi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme auditor memiliki arah hubungan positif (Fridati, 2005).
1. Peran Pengabdian terhadap Tingkat Materialitas
Pengabdian terhadap profesi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keungan (Yendrawati, 2008). Namun lain halnya dengan Fridati (2005) yang menyatakan bahwa pengabdian terhadap profesi mempunyai peran positif dalam pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki tingkat pengabdian profesi yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Pengabdian terhadap profesi yang tinggi dapat dilihat dari penggunaan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman auditor dalam menentukan tingkat ketepatan materialitas dan dalam melaksanakan keseluruhan proses audit, keinginan untuk tetap tinggal dan bekerja sebagai auditor apapun yang terjadi dan kepuasan batin yang didapat karena berprofesi sebagai auditor dan memiliki cita-cita sebagai auditor sejak dulu. Jika dilihat secara komprehensif, maka pengabdian kepada profesi seharusnya memiliki pengaruh terhadap tingkat kecermatan auditor dalam menilai batas materialitas. Ketika seorang auditor memliki pengabdian terhadap profesi semakin tinggi berarti semakin tergerak untuk lebih memahami secara detail mengenai batasan dari materialitas itu sendiri.
2. Peran Kewajiban Sosial terhadap Tingkat Materialitas
Kewajiban sosial tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan (Yendrawati, 2008). Pernyataan tersebut berbeda halnya dengan pernyataan Fridati (2005) yang menyatakan bahwa kewajiban sosial mempunyai hubungan positif dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki kesadaran kewajiban sosial yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Kewajiban sosial didefinisikan sebagai kesadaran akan pentingnya profesi auditor di tengah masyarakat dan manfaat yang akan didapat oleh masyarakat dengan adanya profesi auditor tersebut. Ketepatan dalam menentukan tingkat materialitas dipengaruhi oleh kesadaran auditor terhadap kepercayaan publik yang  diberikan padanya. Jika dikaji secara komprehensif juga bisa dinyatakan bahwa seharusnya ketika seorang auditor merasa memiliki kewajiban sosial yang tinggi maka seharusnya memiliki kecermatan yang tinggi pula yang identik dengan
semakin tingginya tingkat materialitas yang dipahami oleh auditor.
3. Peran Kemandirian terhadap Tingkat Materialitas
Kemandirian tidak berhubungan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan (Yendrawati, 2008). Namun Fridati (2005) mengidentifikasi bahwa kemandirian mempunyai peran positif dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki tingkat kemandirian yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Kemandirian sikap mental yang dimiliki oleh auditor diterapkan dalam merencanakan, melaksanakan pemeriksaan dan menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diauditnya. Jika dikaji secara komprehensif juga bisa dinyatakan bahwa ketika  seorang auditor semakin tidak mandiri berarti auditor tersebut mulai berat sebelah dalam memberikan penilaian atas hasil audit untuk kepentingan memberikan perlindungan pada pihak tertentu.
4. Peran Keyakinan terhadap Tingkat Materialitas
Keyakinan terhadap profesi mempunyai peran positif dalam pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki tingkat keyakinan terhadap profesi yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam menentukan pertimbangan tingkat materialitas yang tinggi pula. Keyakinan terhadap profesi merupakan bentuk kepercayaan auditor terhadap kompetensi profesi auditor, bahwa yang berhak untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan seprofesi yang memiliki kompetensi dan pengetahuan di bidang ilmu dan pengetahuan mereka. Ketepatan dalam menentukan tingkat materialitas ditentukan oleh komitmen auditor terhadap pekerjaannya dan kepercayaan auditor terhadap peraturan profesi (Yendrawati, 2008). Hal ini sependapat dengan Fridati (2005) yang menyatakan bahwa keyakinan terhadap profesi memiliki keterkaitan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan. Artinya, bila auditor memiliki tingkat keyakinan terhadap profesi yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Ketepatan dalam menentukan tingkat materialitas ditentukan oleh komitmen auditor terhadap pekerjaannya dan kepercayaan auditor terhadap peraturan profesi.
5. Peran dengan sesama Profesi terhadap Tingkat Materialitas
Hubungan dengan sesama profesi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan (Yendrawati, 2008). Hasil kajian ini berbeda dengan hasil kajian Fridati (2005) yang menjelaskan bahwa hubungan dengan profesi memiliki peran positif terhadappertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan. Hubungan dengan sesama  profesi dibuktikan dengan menjadi anggota organisasi profesi, ikut berpartisipasi dan berinteraksi dengan sesama profesi dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi dan yang paling utama adalah perasaan memiliki organisasi profesi dimana auditor bekerja. Ketepatan penentuan tingkat materialitas ditentukan oleh hubungan auditor dengan sesama profesi. Jika dikaji secara obyektif, maka bisa dijelaskan bahwa ketika auditor tergabung dalam profesi makaseharusnya memiliki komitmen yang semakin tinggi terhadap tugas yang diembannya sehingga mempengaruhi terhadap tingkat kecermatan dalam menilai batasan materialitas.

KESIMPULAN
Dalam melakukan proses audit laporan keuangan, auditor diharuskan untuk melakukan pertimbangan tingkat materialitas dalam perencanaan dan perancangan prosedur audit, serta pada saat mengevaluasi kewajaran laporan keuangan secara kesuluruhan. Untuk itu, kemampuan auditor untuk memahami tentang konsep materialitas dalam audit sangat diperlukan. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit meningkat jika seorang auditor memiliki profesionalisme dalam dirinya. Ketika masyarakat memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap profesionalisme auditor, maka hasil audit auditor menjadi panduan yang berarti untuk mengambil keputusan yang bersifat ekonomis. Sebagai auditor profesional, dalam melaksanakan proses audit dan penyusunan laporan keuangan, seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. Dalam perencanaan audit, auditor memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat materialitas awal, sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semakin auditor itu profesional maka semakin auditor tersebut tepat dalam menentukan tingkat materialitas. Auditor dapat dikatakan profesional bila auditor memiliki pengabdian terhadap profesi.Seorang auditor yang memiliki pengabdian pada profesi yang tinggi, auditor tersebut selalu mengedepankan etika profesi dalam setiap pekerjaannya sehingga auditor dapat semakin tepat dalam menentukan tingkat materialitas. Selain itu, seorang auditor juga dituntut memenuhi kewajiban sosial, sehingga apabila auditor memiliki kesadaran kewajiban sosial yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Dalam bekerja, auditor dituntut wajib memiliki kemandirian. Kemandirian sikap mental yang dimiliki oleh auditor diterapkan dalam merencanakan, melaksanakan pemeriksaan dan menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diauditnya termasuk mengukur tingkat materialitas. Selain itu, auditor juga dituntut untuk memiliki keyakinan terhadap profesi.Ketepatan dalam menentukan tingkat materialitas ditentukan oleh komitmen auditor terhadap pekerjaannya dan kepercayaan auditor terhadap peraturan profesi. Auditor juga dituntut untuk memahami peran dengan sesame profesi.Hubungan yang baik dengan rekan seprofesi menyebabkan sesama auditor bisa memotivasi dalam bekerja berdasarkan etika profesinya sehingga auditor dapat semakin tepat dalam mengukur tingkat materialitas.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar