PERAN PROFESIONALISME AUDITOR
DALAM MENGUKUR TINGKAT
MATERIALITAS PADA PEMERIKSAAN
LAPORAN KEUANGAN
RATRI
PUSPANINGRUM
UNIVERSITAS
GUNADARMA
ABSTRAKSI
Informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan akan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pemeriksaan
laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor dan menerima pendapat wajar tanpa
pengecualian, diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa laporan keuangan bebas
dari salah saji material dan disajikan dengan prinsip akuntansi umum diterima.
Permintaan utama Profesionalisme seseorang yang bekerja sebagai auditor. Gambar
seseorang yang professional dalam profesi auditor tercermin dalam lima dimensi:
dedikasi terhadap profesi, kewajiban sosial, kemandirian, kepercayaan dalam
aturan profesi, dan hubungan dengan rekan-rekan. Dalam melakukan audit keuangan
laporan, auditor diminta untuk membuat pertimbangan tingkat materialitas dalam
perencanaan dan perancangan Audit prosedur, serta penilaian kewajaran laporan
keuangan secara keseluruhan.
Kata kunci: Auditor
Profesionalisme, Materialitas, Pemeriksaan Laporan Keuangan
PENDAHULUAN
Profesi akuntan publik dikenal
oleh masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi pemakai informasi keuangan.
Laporan keuangan perusahaan dimanfaatkan oleh pemilik perusahaan untuk menilai
pengelolaan dana yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan. Manejemen perusahaan memerlukan jasa pihak ketiga agar pertanggungjawaban
keuangan yang disajikan kepada pihak luar dapat dipercaya, sedangkan pihak luar
perusahaan memerlukan jasa pihak ketiga untuk memperoleh keyakinan bahwa
laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan dapat dipercaya
sebagai dasar keputusan-keputusan yang diambil oleh mereka.Pihak ketiga yang
dimaksud di atas adalah akuntan publik. Dari profesi inilah masyarakat
mengharapkan penilaian yang bebas yang tidak memihak
terhadap informasi yang disajikan
oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi, 2002:3). Alasan utama
adanya profesi akuntan publik adalah untuk melakukan fungsi pengesahan atau
meyakinkan akan kewajaran laporan keuangan. Fungsi pengesahaan ini ada dua
tahap: Pertama, auditor harus melakukan pengauditan (pemeriksaan laporan
keuangan); hal ini dilakukan untuk memperoleh bukti yang obyektif dan relevan
sehingga auditor tersebut dapat menyatakan pendapatnya terhadap laporan
keuangan yang diauditnya. Kedua adanya penyusunan laporan keuangan yang dituju
kepada pemakai laporan keuangan yang memuat pendapat auditor tentang kewajaran
laporan keuangan yang bersangkutan (Ikatan Akuntan Publik Indonesia, 2007).
Gambaran seorang yang profesional dalam profesi eksternal auditor (Hastuti,
Indarto, dan Susilowati, 2003) dicerminkan kedalam lima hal yaitu pengabdian
pada profesi (dedication), kewajiban
sosial (socialabligation), hubungan sesama profesi (community affiliation),
kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand), dan keyakinan terhadap profesi (
belief selfregulation).Dalam melakukan proses pemeriksaan laporan keuangan,
auditor diharuskan untuk melakukan pertimbangan tingkat materialitas dalam
perencanaan dan perancangan prosedur audit, serta pada saat mengevaluasi
kewajaran laporan keuangan secara kesuluruhan. Materialitas adalah besarnya
nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dillihat dari
keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahaan atas atau pengaruh terhadap
pertimbangan orang yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut,
karena adanya penghilangan atau salah saji itu (Mulyadi, 2002:134). Untuk dapat
memenuhi kualitas audit yang baik, maka auditor dalam menjalankan profesinya
sebagai pemeriksa harus berpedoman pada kode etik akuntan, standar profesi dan
standar akuntansi keuangan yang berlaku. Standar pengauditan mencakup mutu
profesional auditor, independensi, pertimbangan yang digunakan dalam laporan
pelaksanaan dan penyusunan laporan audit. Dari uraian di atas dapat dilihat
bahwa tingkat materialitas merupakan pertimbangan tingkat professional yang
harus dilakukan selama proses audit berlangsung.
PEMBAHASAN
Pengertian Audit
Auditing adalah proses
pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai
suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen
untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan
kriteria-kriteria yang telah ditetapkan (Arens dan Loebbecke, 2006:1). Auditing
juga merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara
objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi,
dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan
tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian
hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan (Mulyadi, 2002:9). Pemahaman
tentang auditing berdasarkan sudut pandang profesi akuntan publik merupakan
pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau
organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut
menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, dan
hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut (Mulyadi, 2002:11).
Tipe Audit
Auditing umumnya digolongkan
menjadi 3 golongan yakni (Arens dan Loebbecke, 2006):
1. Audit Laporan Keuangan
Audit Laporan Keuangan adalah
audit yang dilakukan oleh auditor
independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk
menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Dalam Audit Laporan
Keuangan ini, auditor independen menilai kewajaran Laporan Keuangan atas dasar
kesesuainnya dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2. Audit Kepatuhan
Audit kepatuhan adalah audit yang
tujuaannya untuk menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan
tertentu. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang
membuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan.
3. Audit Operasional
Audit Operasional merupakan
review secara sistematik kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dalam hubungannya
dengan tujuan tertentu. Pihak yang memerlukan audit opersional adalah manajemen
atau pihak ketiga. Hasil audit operasional diserahkan kepada pihak yang meminta
dilaksanakannya audit tersebut.
Proses Audit
Audit merupakan suatu proses
dimana dalam pelaksanaannya harus mengikuti tahap-tahap sesuai dengan standar yang
berlaku. Menurut Arens dan Loebbecke (2006), proses audit adalah metodologi
pelaksanaan audit yang jelas untuk membantu auditor dalam mengumpulkan bahan
bukti pendukung yang kompeten. Untuk mencapai tujuan audit, makadiperlukan
beberapa proses dalam pelaksanaannya, terdapat empat tahap audit yaitu:
1. Merencanakan dan merancang
pendekatan audit
Dalam setiap audit ada
bermacam-macam cara yang dapat ditempuh seorang auditor dalam pengumpulan bahan
bukti untuk mencapai tujuan audit secara keseluruhan. Dua perhitungan yang
mempengaruhi pendekatan yang akan dipilih adalah bahan bukti yang kompeten yang
cukup yang harus dikumpulkan untuk memenuhi tanggung jawab profesional dari
auditor dan biaya pengumpulan barang bukti harus ada.
2. Pengujian pengendalian dan
transaksi
Pengujian pengendalian
dimaksudkan untuk menguji keefektifan pengendalian yang telah ditetapkan
tingkat resikonya berdasarkan identifikasi pengendalian.Pengujian atas
transaksi dimaksudkan untuk memeriksadokumentasi transaksi dalam tujuan
pengujian atas pengendalian.
3. Melaksanakan prosedur analitis
dan pengujian terinci atas saldo
Prosedur analitis digunakan untuk
menetapkan kelayakan transaksi dan saldo secara keseluruhan.Pengujian terinci atas
saldo adalah prosedur khusus untuk menguji kekeliruan moneter dalam saldo-saldo
laporan keuangan.
4. Menyelesaikan audit dan
menerbitkan laporan audit
Setelah semua prosedur
diselesaikan, dilakukan penggabungan seluruh informasi yang didapat untuk
memperoleh kesimpulan menyeluruh mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan.
Proses ini sangat subyektif dan sangat tergantung pada pertimbangan profesional
auditor.Pengertian Profesionalisme Auditor Bidang akuntansi telah melakukan
usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan label “profesi”.Badan yang menyusun
standar, proses pengujian dan lisensi, asosiasi profesional, dan kode etik
merupakan bukti adanya struktur profesional untuk akuntansi dan akuntan. Sikap
Profesional tercermin pada pelaksanaan kualitas yang merupakan karakteristik
atau tanda suatu profesi atau seorang profesional. Dalam pengertian umum,
seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai
keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu
tugas atau profesi dengan menerapkan standar baku di bidang profesi yang
bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi
yang telah ditetapkan (Herawati dan Susanto, 2009:13-20). Menurut Lekatompessy
(2003), profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual, dimana
profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan
profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat
suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak (Kalbers dan Fogarty, 1995) dalam
Wahyudi dan Mardiyah, 2006). Konsep dari profesionalisme lebih ditekankan pada
kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan standar pekerjaan
tersebut. Sebuah profesi memang menuntut adanya profesionalisme karena sebuah
profesi memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi dan ditaati. Profesionalisme
bisa dilihat dari perilaku karena perilaku profesional merupakan cerminan dari
sikap profesionalisme. Untuk itu, penekanan pada tingkat profesionalisme lebih
didasarkan pada sikap seseorang dalam menyingkapi berbagai masalah sehubungan dengan
pekerjaan yang harus ditanganinya (Fridati, 2005). Ketika seseorang dengan
profesi tertentu mampu bersikapbijaksana dilihat dari tuntutan tanggung jawab
sesuai dengan profesinya, maka seseorang
tersebut bisa dikatakan profesional. Pengukuran Profesionalisme AuditorDalam
pengukuran seorang auditor yang profesional terdapat lima elemen
profesionalisme tersebut yang telah dirumuskan kembali sebagai berikut (Hastuti
dkk., 2003):
1. Profesionalisme pengabdian
terhadap profesi
Dicerminkan melalui dedikasi
profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki dan
tetap melaksanakan profesinya meskipun imbalan ekstrinsiknya berkurang.
Pengetahuan akuntan publik digunakan sebagai salah satu kunci keefektifan
kerja. Dalam audit, pengetahuan tentang bermacam-macam pola yang berhubungan
dengan kemungkinan kekeliruan dalam laporan keuangan penting untuk membuat
perencanaan audit yang efektif (Noviyani dan Bandi, 2002). Sikap ini berkaitan dengan ekspresi dari pencurahan
diri secara keseluruhan terhadap pekerjaan dan sudah merupakan suatu komitmen
pribadi yang kuat, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan
adalah kepuasan rohani dan setelah itu baru materi.
2. Profesionalisme Hubungan
dengan rekan seprofesi
Hubungan dengan sesama profesi
menggunakan ikatan profesi sebagai acuan termasuk didalamnya organisasi formal
dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan.
Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi.
3. Profesionalisme kewajiban sosial
Kewajiban sosial merupakan
pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik
oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Sikap
profesionalisme dalam pekerjaan tidak terlepas dari kelompok orang yang
menciptakan sistem suatu organisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa atribut profesional
diciptakan sehingga layak diperlakukan sebagai suatu profesi.
4. Profesionalisme kemandirian
Kebutuhan untuk mandiri merupakan
suatu pandangan seorang professional auditor yang harus mampu membuat keputusan
sendiri dalam penentuan tingkat materialitas tanpa tekanan pihak lain. Adanya
intervensi yang datang dari luar dianggap sebagai hambatan yang dapat
mengganggu otonomi profesional. Banyak orang menginginkan pekerjaan yang
memberikan hak bagi mereka dan hak istimewa untuk membuat keputusan-keputusan
dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Kemandirian akan timbul melalui
kebebasan yang diperoleh. Dalam pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan
oleh manajemen secara ketat, akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa
kemandirian dalam tugas.
5. Profesionalisme keyakinan
terhadap peraturan profesi.
Sikap ini adalah suatu keyakinan
bahwa yang paling berwenang dan berhak untuk menilai pekerjaan profesional adalah
sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompeten dalam bidang
ilmu dan pekerjaan mereka. Auditor harus selalu meningkatkan profesionalisme
sehingga mereka accountable baik terhadap orang lain ataupun diri sendiri. Oleh
karena itu pendidikan profesionalisme berkelanjutan mutlak diperlukan baik
menyangkut komputerisasi data kompleksitas transaksi terbaru dibidang audit
maupun perubahan dari bidang keuangan yang menyangkut pengukuran nilai mata
uang. Pedoman Auditor untuk Berperilaku Profesional Institut Akuntan Publik
Indonesia (IAPI) berwenang menetapkan standar (pedoman) dan aturan yang harus dipatuhi
oleh seluruh anggota termasuk setiap kantor akuntan publik lain yang beroperasi
sebagai auditor independen. Persyaratan- persyaratan ini dirumuskan oleh
komite-komite yang dibentuk oleh IAPI. Pedoman-pedoman yang bisa menjadi
pijakan seorang auditor untuk berperilaku profesionalisme (IAPI, 2007)
diantaranya adalah:
1. Standar Auditing
Standar auditing merupakan
pedoman audit atas laporan keuangan historis. Komite Standar Profesional
Akuntan Publik IAPI bertanggung jawab untuk menerbitkan standar
auditing.Standar auditing ini sebagai
bentuk penyempurnaan dari standar sebelumnya yang disebut sebagai Norma
Pemeriksaan Akuntan (NPA).
2. Standar kompilasi dan penelaah
laporan keuangan
Komite SPAP IAPI dan Compilation
and Review Standards Committee
bertanggung jawab untuk mengeluarkan pernyataan mengenai pertanggung jawaban
akuntan publik sehubungan dengan laporan keuangan suatu perusahaan yang tidak
di audit. Pernyataan ini di Amerika serikat disebut Statments on Standards for
Accounting and Review Services dan di Indonesia disebut Pernyataan Standar Jasa
Akuntansi dan Review atau PSAR. PSAR disahkan 1 Agustus 1994 menggantikan
pernyataan NPA sebelumnya mengenai hal yang sama.
3. Standar atestasi
Atestasi (attestation) adalah
suatu pernyataan pendapat atau pertimbangan yang diberikan oleh seorang yang independen
dan kompeten yang menyatakan apakah asersi (assertion) suatu entitas telah
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Asersi adalah suatu pernyataan
yang dibuat oleh satu pihak yang dimaksudkan untuk digunakan oleh pihak lain,
contoh asersi dalam laporan keuangan historis adalah adanya pernyataan
manajemen bahwa laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum
4. Standar Jasa Konsultansi
Standar Jasa Konsultansi
merupakan panduan bagi praktisi (akuntan publik) yang menyediakan jasa
konsultansi bagi kliennya melalui kantor akuntan publik. Dalam jasa
konsultansi, para praktisi menyajikan temuan, kesimpulan dan rekomendasi. Sifat
dan lingkup pekerjaan jasa konsultansi
ditentukan oleh perjanjian antara praktisi dengan kliennya.Umumnya, pekerjaan
jasa konsultansi dilaksanakan untuk kepentingan klien.
5. Standar Pengendalian Mutu
Standar Pengendalian Mutu Kantor
Akuntan Publik (KAP) memberikan panduan bagi
kantor akuntan publik di dalam melaksanakan pengendalian kualitas jasa
yang dihasilkan oleh kantornya dengan mematuhi berbagai standar yang
diterbitkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan PublikInstitut Akuntan
Publik Indonesia (DSPAP IAPI) dan Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik yang
diterbitkan oleh IAPI.Dalam menghasilkan kualitas kerja tinggi seorang auditor
harus menerapkan prinsip etika profesional.Tuntutan etika profesi harus diatas
hukum tetapi dibawah standar ideal agar etika tersebut mempunyai arti dan
berfungsi sebagaimana mestinya.Secara umum ada enam prinsip etika profesi
auditor (Herawati dan Susanto, 2009) yaitu tanggung jawab, kepentingan publik,
integritas, obyektivitas dan independensi, kecermatan dan keseksamaan, lingkup dan
sifat jasa.
Pengertian Materialitas
Materialitas menurut Arens dan
Loebbecke (2006:260) adalah jumlah atau besarnya kekeliruan atau salah saji dalam
informasi akuntansi yang dalam kaitannya dengan kondisi yang bersangkutan,
mungkin membuat pertimbangan pengambilan keputusan pihak yang berkepentingan
berubah atau terpengaruh oleh salah saji tersebut. Definisi materialitas
tersebut mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan baik keadaan yang
berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan
kepercayaan atas laporan keuangan auditan. Konsep materialitas menunjukkan
seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh seorang auditor agar para
pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut (Widjaya,
2005 dalam Herawati dan Susanto, 2009). Pedoman materialitas yang beralasan,
yang diyakini oleh sebagian besar anggota profesi akuntan adalah standar yang
berkaitan dengan informasi laporan keuangan bagi para pemakai, akuntan harus
menentukan berdasarkan pertimbangannya tentang besarnya sesuatu/informasi yang
dikatakan material (Wahyudi dan Mardiyah, 2006).Konsep materialitasmenyatakan
bahwa tidak semua informasi keuangan diperlukan atau tidak semua informasi keuangan
seharusnya dikomunikasikan dalam laporan akuntansi, hanya informasi yang
material yang seharusnya disajikan.Informasi yang tidak material seharusnya
diabaikan atau dihilangkan. Pertimbangan auditor mengenai materialitas
merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas
kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan
kepercayaan terhadap laporan keuangan (IAPI, 2007). Beberapa kajian tentang
pertimbangan tingkat materialitas berfokus pada penemuan tentang jumlah
konsisten yang ada diantara para professional dalam membuat pertimbangan
tingkat materialitas (Wahyudi dan Mardiyah, 2006). Penentuan Pertimbangan
Tingkat Materialitas Idealnya, auditor menentukan pada awal audit jumlah gabungan
dari salah saji dalam laporan keuangan yang akan dipandang material. Hal ini
disebut pertimbangan awal tingkat materialitas karena menggunakan unsur pertimbangan
profesional, dan masih dapat berubah jika sepanjang audit yang akan dilakukan
ditemukan perkembanganyang baru. Pertimbangan awal tingkat materialitas adalah
jumlah maksimum salah saji dalam laporan keuangan yang menurut pendapat
auditor, tidak mempengaruhi pengambilan keputusan dari pemakai. Penentuan
jumlah ini adalah salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh auditor,
yang memerlukan pertimbangan profesional yang memadai.
Tujuan penetapan materialitas ini
adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup.Jika
auditor menetapkan jumlah yang rendah maka lebih banyak bahan bukti yang harus
dikumpulkan dari pada jumlah yang tinggi, begitu juga sebaliknya. Seringkali
mengubah jumlah materialitas dalam pertimbangan awal ini selama audit. Jika ini
dilakukan, jumlah yang baru tadi disebut pertimbangan yang direvisi mengenai
materilitas. Sebabsebabnya antara lain perubahan faktor-faktor yang digunakan
untuk menetapkannya, atau auditor berpendapat jumlah dalam penetapan awal
tersebut terlalu kecil atau besar. Laporan keuangan mengandung salah saji yang
dampaknya, secara individual atau keseluruhan cukup signifikan sehingga dapat
mengakibatkan laporan keuangan disajikan secara tidak wajar dalam semua hal
yang material. Salah saji dapat terjadi akibat dari kekeliruan ataupun
kecurangan(IAPI, 2007).
Peran Profesionalisme Auditor
terhadap Materialtias
Seorang auditor mempertimbangkan
tingkat materialitas pada saat perencanaan dan pelaksanaan audit atas laporan
keuangan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan oleh Institut Akuntan
Publik Indonesia (IAPI). Laporan keuangan dapat mengandung salah saji material
apabila laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara
individu maupun keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan
laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material,
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum. Salah saji dapat terjadi
sebagai akibat penerapan yang keliru prinsip akuntansi tersebut, penyimpangan
fakta, atau dihilangkannya informasi yang diperlukan (Yendrawati, 2008). Terdapat
berbagai tolok ukur dari seorang auditor dapat dikatakan sebagai auditor yang
profesional. Adapun tolak ukur tersebut didasarkan pada dimensi-dimensi
profesionalisme auditor, diantaranya adalah: pengabdian auditor terhadap
profesi, kesadaran auditor akan kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan
terhadap peraturan profesi, dan hubungan dengan sesama profesi. Peran
profesionalisme auditor terhadap pertimbangan tingkat materialitas mengidentifikasikan
hubungan setiap dimensi yang meliputi: pengabdian terhadap profesi, kewajiban
sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi, hubungan dengan rekan
seprofesi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme auditor memiliki arah
hubungan positif (Fridati, 2005).
1. Peran Pengabdian terhadap
Tingkat Materialitas
Pengabdian terhadap profesi tidak
memiliki hubungan yang signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam
proses pengauditan laporan keungan (Yendrawati, 2008). Namun lain halnya dengan
Fridati (2005) yang menyatakan bahwa pengabdian terhadap profesi mempunyai
peran positif dalam pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan
laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki tingkat pengabdian profesi
yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam
pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Pengabdian terhadap profesi yang
tinggi dapat dilihat dari penggunaan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman auditor
dalam menentukan tingkat ketepatan materialitas dan dalam melaksanakan
keseluruhan proses audit, keinginan untuk tetap tinggal dan bekerja sebagai
auditor apapun yang terjadi dan kepuasan batin yang didapat karena berprofesi
sebagai auditor dan memiliki cita-cita sebagai auditor sejak dulu. Jika dilihat
secara komprehensif, maka pengabdian kepada profesi seharusnya memiliki
pengaruh terhadap tingkat kecermatan auditor dalam menilai batas materialitas.
Ketika seorang auditor memliki pengabdian terhadap profesi semakin tinggi
berarti semakin tergerak untuk lebih memahami secara detail mengenai batasan
dari materialitas itu sendiri.
2. Peran Kewajiban Sosial
terhadap Tingkat Materialitas
Kewajiban sosial tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan
laporan keuangan (Yendrawati, 2008). Pernyataan tersebut berbeda halnya dengan
pernyataan Fridati (2005) yang menyatakan bahwa kewajiban sosial mempunyai
hubungan positif dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses
pengauditan laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki kesadaran
kewajiban sosial yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan
dalam pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Kewajiban sosial
didefinisikan sebagai kesadaran akan pentingnya profesi auditor di tengah
masyarakat dan manfaat yang akan didapat oleh masyarakat dengan adanya profesi
auditor tersebut. Ketepatan dalam menentukan tingkat materialitas dipengaruhi
oleh kesadaran auditor terhadap kepercayaan publik yang diberikan padanya. Jika dikaji secara
komprehensif juga bisa dinyatakan bahwa seharusnya ketika seorang auditor
merasa memiliki kewajiban sosial yang tinggi maka seharusnya memiliki
kecermatan yang tinggi pula yang identik dengan
semakin tingginya tingkat
materialitas yang dipahami oleh auditor.
3. Peran Kemandirian terhadap
Tingkat Materialitas
Kemandirian tidak berhubungan dengan
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan
(Yendrawati, 2008). Namun Fridati (2005) mengidentifikasi bahwa kemandirian
mempunyai peran positif dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses
pengauditan laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki tingkat
kemandirian yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan
dalam pertimbangan materialitas yang tinggi pula. Kemandirian sikap mental yang
dimiliki oleh auditor diterapkan dalam merencanakan, melaksanakan pemeriksaan
dan menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diauditnya. Jika dikaji
secara komprehensif juga bisa dinyatakan bahwa ketika seorang auditor semakin tidak mandiri berarti
auditor tersebut mulai berat sebelah dalam memberikan penilaian atas hasil
audit untuk kepentingan memberikan perlindungan pada pihak tertentu.
4. Peran Keyakinan terhadap
Tingkat Materialitas
Keyakinan terhadap profesi
mempunyai peran positif dalam pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan
laporan keuangan, sehingga apabila auditor memiliki tingkat keyakinan terhadap
profesi yang tinggi maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam
menentukan pertimbangan tingkat materialitas yang tinggi pula. Keyakinan
terhadap profesi merupakan bentuk kepercayaan auditor terhadap kompetensi
profesi auditor, bahwa yang berhak untuk menilai pekerjaan profesional adalah
rekan seprofesi yang memiliki kompetensi dan pengetahuan di bidang ilmu dan
pengetahuan mereka. Ketepatan dalam menentukan tingkat materialitas ditentukan oleh
komitmen auditor terhadap pekerjaannya dan kepercayaan auditor terhadap
peraturan profesi (Yendrawati, 2008). Hal ini sependapat dengan Fridati (2005)
yang menyatakan bahwa keyakinan terhadap profesi memiliki keterkaitan dengan
pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan.
Artinya, bila auditor memiliki tingkat keyakinan terhadap profesi yang tinggi
maka akan mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam pertimbangan
materialitas yang tinggi pula. Ketepatan dalam menentukan tingkat materialitas ditentukan
oleh komitmen auditor terhadap pekerjaannya dan kepercayaan auditor terhadap
peraturan profesi.
5. Peran dengan sesama Profesi
terhadap Tingkat Materialitas
Hubungan dengan sesama profesi
tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas
dalam proses pengauditan laporan keuangan (Yendrawati, 2008). Hasil kajian ini
berbeda dengan hasil kajian Fridati (2005) yang menjelaskan bahwa hubungan
dengan profesi memiliki peran positif terhadappertimbangan tingkat materialitas
dalam proses pengauditan laporan keuangan. Hubungan dengan sesama profesi dibuktikan dengan menjadi anggota
organisasi profesi, ikut berpartisipasi dan berinteraksi dengan sesama profesi dalam
setiap kegiatan yang diadakan oleh organisasi dan yang paling utama adalah
perasaan memiliki organisasi profesi dimana auditor bekerja. Ketepatan
penentuan tingkat materialitas ditentukan oleh hubungan auditor dengan sesama
profesi. Jika dikaji secara obyektif, maka bisa dijelaskan bahwa ketika auditor
tergabung dalam profesi makaseharusnya memiliki komitmen yang semakin tinggi
terhadap tugas yang diembannya sehingga mempengaruhi terhadap tingkat
kecermatan dalam menilai batasan materialitas.
KESIMPULAN
Dalam melakukan proses audit
laporan keuangan, auditor diharuskan untuk melakukan pertimbangan tingkat materialitas
dalam perencanaan dan perancangan prosedur audit, serta pada saat mengevaluasi
kewajaran laporan keuangan secara kesuluruhan. Untuk itu, kemampuan auditor
untuk memahami tentang konsep materialitas dalam audit sangat diperlukan.
Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit meningkat jika seorang
auditor memiliki profesionalisme dalam dirinya. Ketika masyarakat memiliki
kepercayaan yang tinggi terhadap profesionalisme auditor, maka hasil audit
auditor menjadi panduan yang berarti untuk mengambil keputusan yang bersifat
ekonomis. Sebagai auditor profesional, dalam melaksanakan proses audit dan
penyusunan laporan keuangan, seorang auditor wajib menggunakan kemahiran
profesionalnya dengan cermat dan seksama. Dalam perencanaan audit, auditor
memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat materialitas awal, sehingga secara
tidak langsung dapat dikatakan bahwa semakin auditor itu profesional maka
semakin auditor tersebut tepat dalam menentukan tingkat materialitas. Auditor
dapat dikatakan profesional bila auditor memiliki pengabdian terhadap
profesi.Seorang auditor yang memiliki pengabdian pada profesi yang tinggi,
auditor tersebut selalu mengedepankan etika profesi dalam setiap pekerjaannya
sehingga auditor dapat semakin tepat dalam menentukan tingkat materialitas.
Selain itu, seorang auditor juga dituntut memenuhi kewajiban sosial, sehingga
apabila auditor memiliki kesadaran kewajiban sosial yang tinggi maka akan
mengakibatkan auditor memiliki ketepatan dalam pertimbangan materialitas yang
tinggi pula. Dalam bekerja, auditor dituntut wajib memiliki kemandirian.
Kemandirian sikap mental yang dimiliki oleh auditor diterapkan dalam
merencanakan, melaksanakan pemeriksaan dan menyatakan pendapat atas laporan
keuangan yang diauditnya termasuk mengukur tingkat materialitas. Selain itu,
auditor juga dituntut untuk memiliki keyakinan terhadap profesi.Ketepatan dalam
menentukan tingkat materialitas ditentukan oleh komitmen auditor terhadap
pekerjaannya dan kepercayaan auditor terhadap peraturan profesi. Auditor juga
dituntut untuk memahami peran dengan sesame profesi.Hubungan yang baik dengan
rekan seprofesi menyebabkan sesama auditor bisa memotivasi dalam bekerja
berdasarkan etika profesinya sehingga auditor dapat semakin tepat dalam
mengukur tingkat materialitas.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar